Minggu, 15 November 2015

Generasi sempit?

#PrayForParis.. Ya, tagar tersebut belakangan santer terlihat di jagad maya. Sebuah peristiwa yang tidak pernah (dan akan) diinginkan orang terjadi di kota Paris. 3 Bom meledak di dekat Stade de France dan serangan dengan senjata api juga penyanderaan warga sipil di sekitar Teater Bataclan. Bom yang meledak di dekat Stade de France diduga mengincar Presiden Francois Hollande yang sedang menyaksikan pertandingan kualifikasi Euro 2016 antara Perancis dan Jerman. Hanya beliau dan para pengawalnya yang meninggalkan Stadion lebih dulu. Namun pertandingan itu berjalan hingga akhir karena tidak ada yang mengabarkan apa yang sedang terjadi di luar stadion. Walaupun ketika pertandingan selesai polisi mengevakuasi semua orang di dalam stadion. Sedikitnya 120 orang dilaporkan tewas dan 100 orang sempat disandera.

Berbagai berita mulai menyebar. Seperti yang kita ketahui, media sosial merupakan 'akses' tercepat ketika suatu peristiwa yang luar biasa besar terjadi. Begitu pula pada musibah di Paris ini. Saya ambil contoh twitter, media sosial terpopuler saat ini. Puluhan bahkan ratusan tweet ber-tagar #PrayForParis melintas di lini masa saya. Setelah satu hari penuh, yang mulanya kicauan-kicauan bernada simpatik, muncul-lah beberapa akun yang mulai menerka siapa dalang dibalik serangan itu, muncul pula kicauan yang mulai mengganggu saya.

Beberapa akun berkicau dengan nada tak acuh terhadap apa yang sedang terjadi. Mereka mencoba melihat peristiwa lain dan mulai menganggap tidak penting apa yang terjadi di Paris. Mungkin mereka berfikir "paris itu jauh, paris itu komunis, baru segitu aja heboh, palestina sama suriah setiap hari diserang pada diem aja, perancis gak penting". Mereka tidak mencoba melihat bagaimana teror di Paris terjadi, tidak terfikir bahwa teror itu ter-rencana dengan matang.

Tidak ada yang salah, mengemukakan pendapat itu hak setiap manusia. Tapi apakah mereka lupa bahwa tanah Indonesia juga pernah (bahkan lebih dari satu kali) terguncang oleh para pelaku teror? Tanah Indonesia terlalu banyak terguyur darah tak berdosa karena ambisi mengalahkan 'musuh'. Mereka lebih memilih menyebut pelaku teror tak punya agama, walau lebih 'pas' bila disebut tak punya rasa kemanusiaan (menyadur salah satu tweet dari sebuah akun anonim). Mereka pun seperti lupa rasa simpatik dari seluruh dunia yang luar biasa untuk Indonesia atas semua teror yang telah terjadi. Atau malah mereka memang tidak peduli dengan yang terjadi pada masa lampau di Indonesia? Mereka melihat konflik di suriah dan membandingkannya dengan teror di Paris. Mungkinkah Perancis sedang dalam masalah perang saudara? Dan apakah mereka tidak khawatir pada masa yang akan datang para terrorist itu kembali mengguncang tempat lain?

Sebagai makhluk sosial, rasa simpatik saya selalu mengalir kepada siapapun yang sedang dalam kesusahan. Entah mereka berasal darimana, dari suku apa, dan apa keyakinan mereka. Semuanya kembali bahwa manusia hidup bergantung satu dengan yang lainnya. Mengapa rasa simpatik yang begitu besar dipermasalahkan? Dan... Bukankah kita sedang mencoba menciptakan perdamaian dunia?